Monday, April 4, 2016

Pakai BPJS di Unit Gawat Darurat (UGD atau IGD)

Pakai BPJS di Unit Gawat Darurat (UGD atau IGD)

Pengalaman pertama saat saya memakai BPJS di IGD sebuah Rumah Sakit Pemerintah adalah setahun yang lalu, saat adik perempuan saya sedang radang tenggorokan dan demam saat malam hari. Menurut desas-desus saat itu, Rumah Sakit yang menerima BPJS di IGD nya hanyalah RS. Pemerintah, jadi pada pukul 22.00 WIB saya pergi ke RS. Pemerintah yang jaraknya jauh sekali dari rumah saya. Saat tiba disana, pelayanan di RS. Pemerintah tersebut baik dan sangat welcome pada tiap pasien BPJS (berbeda dengan layanan pada poli spesialis di RS. Pemerintah ini) Persyaratannya pun sangat mudah hanya foto copy KTP dan fotocopy Kartu BPJS 1 lembar, tapi karena adik saya masih 12 tahun, maka saya melampirkan foto copy KK.

Pengalaman kedua, beberapa bulan lalu saat saya tiba-tiba demam pada pukul 23.00, karena tidak tahan, saya pergi ke RS. Swasta Y, dan Alhamdulillah, saya diterima dengan baik dan dilayani dengan baik pula. Ya walaupun obatnya selalu generik ya, tapi terkadang saya meminta resep obat paten, karena mungkin kualitasnya lebih baik dan reaksinya lebih cepat pada tubuh. (Syarat tetap sama, foto copy ktp dan foto copy kartu bpjs)

Pengalaman ketiga inilah yang menurut saya unik, pada siang hari, jari saya terjepit sebuah besi berkarat dan awalnya saya menyepelekannya sih, namun karena anjuran beberapa teman, akhirnya saya pergi ke klinik, dan benar saja, dokter klinik menyarankan saya dirujuk ke UGD, karena saat itu klinik tersebut dekat dengan RS. Swasta X, maka saya meminta rujukan ke RS. Swasta X tersebut. Saat tiba di RS. Swasta X, saya disambut dengan baik, namun saat tau kondisi luka saya, dokter berfikir lama, kemudian pergi dari bilik saya (saat itu saya disuruh terlentang). 15 menit kemudian muncul seorang perawat mengatakan pada saya bahwa insiden yang saya alami tidak ditanggung BPJS, dan saya harus membayar biaya pengobatan dan penanganan itu sendiri. Saya mengiyakan perkataan perawatan tersebut karena memang jari saya sakit saat itu, 10 menit kemudian, perawat tersebut muncul kembali dan menyuruh saya menuliskan cerita bagaimana terjadinya insiden yang saya alami hingga jari terluka, haduh.. ribet banget ya, dan saya mengisi form tersebut, kemudian tak lama dokter muncul lagi dan mengatakan pada saya bahwa jari saya harus dironsen dan dijahit, karena saya pikir jika penanganan seperti itu pasti mahal (dan saya sedang bokek juga, hehehe) saya memutuskan pergi dan membatalkan semua tindakan. Saat saya mengambil berkas-berkas saya di kasir (foto copy surat rujukan dan ktp, kartu bpjs) saya diharuskan membayar Rp 35,000 untuk biaya dokter. (what? dokter hanya melihat luka saya dan tidak menyentuh sama sekali, walaupun perawat hanya memberi perban pada luka saya) okelah karena saya gengsi saya bayar saja, grr.. Sayapun kembali ke Klinik dan meminta rujukan pada dokter ke RS. Swasta Y, alasan saya tidak meminta rujukan ke RS. Pemerintah karena memang jaraknya jauh. Setibanya di RS. Swasta Y, saya disambut baik dan saya menerima obat generik (lagi) dan yang terpenting luka saya ditindak lanjuti tanpa ada gejala serius (tetanus atau infeksi, Alhamdulillah..) Yah.., kesimpulannya, tidak semua RS. Swasta menerima pasien BPJS dengan baik, RS. Swasta X yang menolak saya adalah RS. dengan kelas tinggi yang memang pasiennya adalah notabene orang kaya, wajar jika mungkin semua biayanya mahal dan BPJS tidak mengcover biaya tersebut. Terlepas dari pelayanan buruk yang saya terima, saya masih menggunakan BPJS, ambil sisi baiknya, kita bisa berbagi dengan orang lain, dan jika sakit, urusannya tidak ribet, asal administrasinya lengkap dan sabar ya. :)

Saturday, January 23, 2016

Teman

Pernah ketika menonton Catatan Harian Si Boy, ada kutipan yang mengatakan,"teman adalah keluarga yang kita pilih, dan keluarga adalah nasib kita" jika dipikir-dipikir memang, karena pada dasarnya tidak semua masalah dan unek-unek bisa dibicarakan dengan keluarga.

Teman sangat mengerti sikap dan watak asli saya sebenarnya. Jika di rumah saya sering diam,dan tidak pernah keluar bermain bersama teman sebaya saya, maka berbeda saat saya bersama teman, saya sangat ramai dan banyak bicara.

Terkadang saya lebih nyaman bersama dengan teman disuatu situasi tertentu, dibandingkan bersama keluarga saya sendiri, tapi bukan berarti saya tidak nyaman dengan keluarga saya. Jika saya boleh memilih, saya ingin bertetangga dengan semua teman-teman saya, pasti setiap harinya saya tidak merasa sepi dan bosan.


Pernah baca suatu kutipan dari Ali bin Abi Thalib, "Manusia yg paling lemah adalah orang yang tidak mampu mencari teman,namun lebih lemah jika dia banyak teman tapi menyia-nyiakannya dalam kebaikan", sudahkah kalian mengajak teman kalian dalam hal kebaikan?