Tuesday, November 3, 2015

Review nonton Ayah Menyayangi Tanpa Akhir

Pertama kali lihat playlist coming soon film Ayah Menyayangi Tanpa Akhir (disingkat AMTA) dari website 21cineplex, saya sudah tertarik dengan film ini. Gak tau kenapa saya saat itu pengen sekali nonton film mengharukan, setelah beberapa bulan lalu nonton film My Idiot Brother yang mampu menguras air mata saya.

Film AMTA rilis pada Kamis, 29 Oktober 2015, dan saya berkesempatan menonton film ini pada Sabtu, 31 Oktober 2015. Yah.. walaupun nontonnya pada jadwal weekend dan harga tiketnya lumayan mahal, saya tetap belain menonton film ini.

Terimakasih buat adek kelas saya yang mau saya culik buat nemenin saya nonton film ini, hahaha. Saya agak kaget melihat begitu minimnya penonton pada film-film Indonesia, padahal saat itu playlist film Indonesia di 21cineplex termasuk film-film yang layak ditonton, daripada film-film Indonesia dulu yang mengandalkan penampilan artis-artis panas, ckckckk.

Oke, film ini dibuka dengan perjuangan Juna, seorang anak bungsu yang lahir dari keluarga yang sangat memperhatikan adat. Juna saat itu membawa calon istrinya, Keisha. Hubungan Juna dan Keisha ditolak mentah-mentah oleh keluarga Juna, akhirnya Juna memutuskan untuk menikah dengan Keisha tanpa restu keluarganya. Juna dan Keisha hidup bahagia, namun naas, saat akan melahirkan anak pertamanya, Keisha meninggal.

Kematian Keisha membuat Juna benar-benar menjaga Mada, buah hati miliknya dan Keisha, Mada tumbuh menjadi seorang remaja yang aktif dan energik, menyukai Go Kart. Sebenarnya Juna takut ketika Mada sedang balap, namun karena itu adalah hobi putra satu-satunya, Juna merelakan Mada bermain dengan hobinya tersebut. Ketika tengah bermain, tiba-tiba Mada merasakan sakit amat sangat dikepalanya. Juna yang berada ditempat tersebut langsung membawa Mada ke Rumah Sakit.

Mada divonis oleh dokter menderita Kanker Otak, namun Juna bersihkeras tidak mau mengoperasi Mada dikarenakan tidak mau melihat Mada kesakitan. Dengan pengetahuannya tentang obat (karena Juna adalah seorang Farmasi) Juna berusaha menyembuhkan Mada dengan obat yang ia racik sendiri. Setiap Mada kesakitan, Juna memeluk Mada dengan kuat, seakan mau berbagi rasa sakit dengan Mada.

Film ini benar-benar menguras air mata, dari awal film ini saya sudah menangis melihat bagaimana susahnya perjuangan Mada merawat putranya sendiri, ditambah lagi dengan sikap Mada yang terkadang melawan karena Juna yang terlalu protektif mendidiknya. Entah kenapa saya menangis melihat film ini, mungkin karena saya teringat bagaimana saya bersikap kepada kedua orang tua saya.

Ada dua hal kejanggalan dalam film ini, pertama adalah saat adegan Juna dan Mada melihat Candi Prambanan, kenapa menggunakan green screen? Mungkin memang saat syuting film dilaksanakan, terlalu jauh untuk melaksanakan syuting berlatar Candi Prambanan, tapi toh tidak perlu di green screen juga kan? Mungkin bisa diakali dengan setting indoor atau apa. Kedua, adegan saat Mada meninggal entah kenapa rasanya biasa saja, entah apa yang kurang, setidaknya rasanya saat Mada meninggal benar-benar biasa saja.

Oke fine, begitu saja sedikit review tentang film AMTA, film ini kalau saya nilai 80 lah dari 100, karena film ini mampu menguras emosi saya dan menguras air mata saya, leher saya sampai basah loh saat keluar bioskop. Hehehe.., tinggalkan komentar ya. :D